(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al Atsariyyah)
Sekedar menampakkan wajah yang berseri-seri serta bertutur yang baik
sesungguhnya merupakan perkara ringan. Namun demikian, bagi sebagian
besar kita hal itu seolah demikian berat untuk dipraktikkan. Yang
memprihatinkan, gejala ini juga menimpa sebagian para penuntut ilmu
agama di mana sikap mereka demikian kaku terhadap orang-orang awam.
Berjumpa dengan orang lain adalah perkara yang biasa dalam keseharian
kita sebagai makhluk sosial. Karena tak mungkin kita hidup menyendiri
dari orang lain. Kita butuh saudara, butuh teman, dan kita butuh orang
lain. Yang tak biasa alias luar biasa, bila kita dapat mengamalkan
tuntunan Allah k dan Rasul-Nya kala berjumpa dan berkata. Kenapa
demikian? Karena di zaman kita sekarang, adab-adab Islam sudah banyak
ditinggalkan oleh kaum muslimin. Mungkin karena kebodohan ataupun karena
ketidakpedulian mereka.
Adapula yang berdalil dengan tabiat, yakni ada sebagian daerah di
negeri kita ini di mana orang-orangnya bertabiat kaku, cuek, dan sok tak
peduli. Sehingga bila bertemu dengan orang yang mereka kenal sekalipun,
sikap mereka seperti tak kenal, tak ada senyum, tak ada sapaan.
Lebih-lebih bila berjumpa dengan orang yang tak mereka kenal walaupun
duduk bersama-sama dalam satu majelis. Ibaratnya kalau kita tidak
menegur dan menyapa terlebih dahulu, mereka pun tidak akan menegur dan
menyapa, benar-benar cuek dan kaku. Orang-orang seperti ini dijumpai
sendiri oleh penulis. Awalnya penulis merasa mungkin punya salah
terhadap mereka atau ada sikap yang tidak berkenan di hati mereka
sehingga mereka berlaku demikian. Tetapi akhirnya penulis mengerti bahwa
memang demikian tabiat umumnya mereka yang tinggal di daerah tersebut.
Wallahu al-musta’an.
Sungguh Allah l telah memerintahkan kaum muslimin untuk berlaku baik
kepada sesamanya, rendah hati kepada saudara dan penuh tawadhu’. Allah k
berfirman kepada Nabi-Nya:
“Rendahkanlah sayapmu kepada kaum mukminin.” (Al-Hijr: 88)
Maksudnya: bersikap lunaklah terhadap mereka dan perbaiki akhlakmu
terhadap mereka karena mencintai, memuliakan, dan mengasihi mereka.
(Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 435)
Dalam ayat lain, Allah l berfirman:
“Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159)
Bersikap ramah kepada saudara dan bertutur yang baik jelas
merupakan amalan kebaikan, bahkan bila seseorang tidak mendapatkan harta
untuk disedekahkannya di jalan Allah k maka mengucapkan kalimat yang
baik dapat menggantikannya.
‘Adi bin Hatim z berkata, “Rasulullah n bersabda:
اِتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ، فَمَنْ لَـمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ
“Jagalah kalian dari api neraka, walaupun dengan bersedekah
sepotong kurma. Namun siapa yang tidak mendapatkan sesuatu yang bisa
disedekahkannya maka dengan (berucap) kata-kata yang baik.” (HR.
Al-Bukhari no. 6023 dan Muslim no. 2346)
Al-Imam An-Nawawi t berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa kalimat
thayyibah merupakan sebab selamat dari neraka. Yang dimaksud kalimat
thayyibah adalah ucapan yang menyenangkan hati seseorang jika ucapan itu
mubah atau mengandung ketaatan.” (Al-Minhaj, 7/103)
Ibnu Baththal tberkata, “Kalimat thayyibah teranggap sebagai
sedekah, dari sisi di mana pemberian harta akan membahagiakan hati orang
yang menerimanya dan menghilangkan rasa tidak senang dari hatinya.
Demikian pula kalimat-kalimat yang baik, maka keduanya (pemberian harta
dan ucapan yang baik) serupa dari sisi ini.” (Fathul Bari, 10/551)
Dalam hadits yang lain, Nabi n bersabda:
وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
“Kata-kata yang baik adalah sedekah.” (HR. Al-Bukhari no. 2707 dan Muslim no. 2332)
Rasulullah n pernah berpesan kepada sahabatnya Abu Dzar Al-Ghifari z:
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْـمَعْرُوْفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِيْقٍ
“Jangan sekali-kali engkau meremehkan perkara kebaikan walaupun
hanya berwajah cerah ketika engkau bertemu dengan saudaramu.” (HR.
Muslim no. 6633)
Hadits di atas diberi judul oleh Al-Imam An-Nawawi t dalam
syarahnya terhadap Shahih Muslim: “Disenanginya berwajah cerah ketika
bertemu.”
Al-Qadhi Iyadh t berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa berwajah
cerah/berseri-seri kepada kaum muslimin dan menunjukkan rasa senang
kepada mereka merupakan perkara yang terpuji, disyariatkan, dan
diberikan pahala bagi pelakunya.”
Beliau juga mengatakan, “Cukuplah bagi kita akhlak Nabi kita n
dalam hal ini dan sifat beliau yang Allah l sebutkan dalam Al-Qur`an,
dan Allah l bersihkan beliau dari sifat yang sebaliknya seperti tersebut
dalam firman-Nya:
“Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159) [Ikmalul
Mu’allim bi Fawa`id Muslim, 8/106]
Masih dalam hadits yang disampaikan oleh Abu Dzar z, Rasulullah n bersabda:
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيْكَ صَدَقَةٌ
“Senyumanmu di wajah saudaramu (seagama) adalah sedekah.” (HR.
At-Tirmidzi no. 1956, dishahihkan Asy-Syaikh Albani t dalam Shahih Sunan
At-Tirmidzi dan Ash-Shahihah no. 572)
Maksud hadits di atas, engkau menampakkan wajah cerah, berseri-seri
dan penuh senyuman ketika bertemu saudaramu akan dibalas dengan pahala
sebagaimana engkau diberi pahala karena mengeluarkan sedekah. (Tuhfatul
Ahwadzi, kitab Al-Birr wash Shilah, bab Ma Ja`a fi Shana`i’ Al-Ma’ruf,
ketika membahas hadits di atas)
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin tberkata,
“Sepantasnya ketika seseorang bertemu saudaranya ia menunjukkan rasa
senang dan menampakkan wajah yang manis/cerah serta bertutur kata yang
baik, karena yang demikian ini merupakan akhlak Nabi n. Tentunya, sikap
seperti ini tidak merendahkan martabat seseorang bahkan justru
mengangkatnya. Ia pun mendapatkan pahala di sisi Allah l dan mengikuti
Sunnah Nabi n. Karena beliau n selalu cerah wajahnya, tidak kusut ketika
bertemu orang lain dan beliau banyak melempar senyuman. Karena itu,
sepantasnya seseorang berjumpa saudaranya dengan wajah yang cerah dan
mengucapkan ucapan yang baik. Sehingga dengannya ia dapat meraih pahala,
rasa cinta dan kedekatan hati, di samping jauh dari sikap takabur dan
merasa tinggi dari hamba-hamba Allah l yang lain. (Syarhu Riyadhis
Shalihin, 2/500)
Sungguh wajah yang cemberut ataupun tanpa ekspresi, dingin dan
kaku, tidak pantas diberikan kepada sesama muslim, karena hal itu
menyelisihi apa yang dititahkan oleh Allah k dan Rasul-Nya. Yang seperti
itu seharusnya ditujukan kepada orang-orang kafir dan munafik karena
Allah l berfirman:
“Wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik
serta bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat kembali mereka adalah
jahannam sebagai sejelek-jelek tempat kembali.” (At-Taubah: 73)
Meskipun begitu, bila si orang kafir diharapkan mau masuk Islam,
kita sepantasnya menampakkan wajah yang manis ketika berjumpa. Namun
bila sikap baik kita ini justru menambah kesombongannya dan ia merasa
tinggi daripada kaum muslimin, maka wajah cerah tidak boleh diberikan
kepadanya. (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/500-501)
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin t juga menyatakan, “Wajah yang cerah/manis
termasuk perkara kebaikan, karena akan memasukkan kebahagiaan pada
saudaramu dan melapangkan dadanya. Kemudian bila wajah yang berseri-seri
ini digabungkan dengan tutur kata yang baik, akan tercapai dua
maslahat, yaitu wajah yang berseri-seri dan tutur kata yang baik. Nabi n
menyatakan dalam sabdanya:
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
“Takutlah kalian dari api neraka, walaupun dengan bersedekah sepotong kurma.”
maksudnya jadikanlah pelindung antara kalian dan neraka walaupun
kalian bersedekah hanya dengan sepotong kurma. Karena, hal itu akan
dapat melindungimu dari api neraka jika memang Allah l menerima sedekah
tersebut.
Namun jika kalian tidak mendapatkan sesuatupun yang dapat kalian
sedekahkan, maka ucapkan kata-kata yang baik ketika berjumpa dengan
saudara seiman. Misalnya engkau berkata kepadanya,
“Bagaimana kabarmu?”,
“Bagaimana keadaanmu?”,
“Bagaimana kabar saudara-saudaramu?”,
“Bagaimana dengan keluargamu?”,
dan yang semisalnya. Karena kalimat-kalimat seperti ini akan
meresapkan kebahagiaan di hati saudaramu. Setiap kata-kata yang baik
adalah sedekah di sisi Allah k. Dengannya akan diperoleh ganjaran dan
pahala. Sungguh Nabi n telah bersabda:
الْبِرُّ حُسْنُ الْـخُلُقِ
“Kebaikan itu adalah akhlak yang baik.”1
Beliau n juga bersabda:
أَكْمَلُ الْـمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka.”2 (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/501)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
http://asysyariah.com/bertutur-kata-yang-baik-dan-berkata-manis.html