AL FALAQ / AL FALAQ 1 – 5
Al Falaq 1 – 5“Katakanlah” – wahai Utusan-Ku – “Aku berlindung dengan Tuhan dari cuaca Subuh.” (ayat 1). Tuhan Allah adalah tempat berlindung. Nabi SAW dan kita semuanya diperintahkan Tuhan agar berlindung dengan Allah. Setengah kekuasaan Allah itu ialah bahwa Dia menciptakan dan membuat suasana cuaca Subuh. Dalam ayat ini Al-Falaq yang tertulis di ujung ayat kita artikan cuaca Subuh, yaitu ketika perpisahan di antara gelap malam dengan mulai terbit fajar hari akan siang. Dengan hikmat tertinggi Tuhan mewahyukan kepada Rasul-Nya akan kepentingan saat pergantian hari dari malam kepada siang itu. Waktu sebagai modal hidup sehari semalam 24 jam lamanya. Kita disuruh melindungkan diri, memohon perlindungan dan pernaungan kepada Tuhan yang menguasai cuaca Subuh itu. Berlindung kepada Tuhan agar terlepas dari segala bahaya yang ada di hadapan kita, yang kita sendiri tidak tahu.
Al-Falaq ada juga diartikan dengan peralihan. Peralihan dari malam ke siang, peralihan dari tanah yang telah sangat kering karena kemarau, lalu turun hujan, maka hiduplah kembali tumbuh-tumbuhan. Peralihan dari biji kering terlempar ke atas tanah, lalu timbul uratnya dan dia memulai hidup. Maka berlindunglah kita kepada Tuhan, dalam sebutan-Nya sebagai RABB, yang berarti mengatur, mendidik dan memelihara; supaya berkenanlah kiranya Tuhan memperlindungi kita, dari kemungkinan-kemungkinan bahaya yang terkandung pada pergantian siang dan malam atau peralihan musim.
“Dari kejahatan apa-apa yang telah Dia jadikan.” (ayat 2). Semua makhluk ini Allahlah yang menciptakannya; baik langit dengan segala matahari, bulan dan bintang gemintangnya, sampai kepada awan-awan berarak. Atau bumi dengan segala isi penghuninya, lautnya dan daratnya, bukitnya dan lurahnya. Semuanya adalah ciptaan Tuhan, sedang kita manusia ini hanyalah satu makhluk kecilsaja yang terselat di dalamnya. Dan segala yang telah dijadikan Allah itu bisa saja membahayakan bagi manusia, meskipun sepintas lalu kelihatan tidak apa-apa.
Hujan yang lebat bisa menjadi banjir dan kita ditimpa celaka kejahatan banjir, hanyut dan tenggelam. Panas yang terik bisa menjelma menjadi kebakaran besar, dan kita bisa saja turut hangus terbakar.
Gunung yang tinggi yang sepintas lalu menjadi perhiasan alam keliling dan penangkis angin dan ribut, bisa runtuh dan longsor, kita pun mati terhimpit dalam timbunan tanah.
Lautan yang luas dapat kita layari. Tetapi kapal yang kita tumpang bisa saja dihantam badai, tiang patah, atau tersandung kepada gunung salju, kapal pun tenggelam, kita pun mati.
Naik kapal udara adalah alat perhubungan yang paling cepat di zaman modern ini. Bisa saja awan sangat tebal sehingga tidak dapat ditembus penglihatan, sehingga tiba-tiba kapal terbang terbentur kepada gunung, dia pun hancur dan kita pun turut hancur di dalamnya. Atau sangat keras badai di laut sehingga kapal udara itu tidak dapat mengatasinya, dia pun tenggelam dan kita pun turut tenggelam ke dalam perut lautan.
Bermain-main di bawah pohon kayu besar. Tiba-tiba angin puyuh datang berhembus, pohon itu naik tumbang, kita mati dihimpitnya. Naik kereta api yang tergelincir relnya, sehingga jatuh dan hancur. Naik mobil yang tiba-tiba tidak terkendalikan, sehingga masuk ke dalam lurah. Sedang kita enak-enak berjalan di jalan raya, tiba-tiba ada orang mengamuk, mana yang bertemu ditikamnya, kita pun kena. Kompor minyak sedang orang perempuan bertanak di dapur, tiba-tiba meletus. Perempuan yang tengah beranak itu dikeluyut mintak tanah terbakar dan mati. Orang sedang naik sepeda kencang, tiba-tiba terbentur ke batu besar, terlempar badannya, kena tonggak kawat, pecah kepalanya dan mati.
Maka semua yang dijadikan Allah itu mungkin saja ada bahayanya, yang tidak kita sangka: Januari 1973 meletus gunung di Iceland dengan tiba-tiba padahal menurut penyelidikan ahli-ahli sudah 7000 tahun gunung itu tidak berapi lagi. Kita manusia ini hanya satu makhluk kecil saja hidup di antara makhluk Allah yang lebih besar dan lebih dahsyat.
Sepaku kecil yang terlepas daripada terompah orang di jalan raya. Apalah artinya sepaku kecil itu. Tiba-tiba terpijak di kaki seorang yang sedang berjalan kaki, karena kebetulan dia tidak memakai alas kaki. Sepaku itu berkarat dan karatnya itu berbisa. Dia terpijak oleh telapak kaki, lalu pada luka kecil itu timbul infeksi keracunan darah. Tidak lama kemudian matilah orang yang kena infeksi itu setelah paku kecil yang bercampak di tengah jalan yang tidak berarti itu.
Sebab itu maka dapatlah dikatakan bahwa di mana-mana ada bahaya. Kita tidak boleh lupa hal ini. Tuhan Allah sebagai Pencipta seluruh alam Maha Kuasa pula menyelipkan bahaya pada barang-barang atau sesuatu yang kita pandang remeh. Oleh sebab itu di dalam ayat ini kita disuruh memperlindungkan diri kepada Tuhan dalam namanya sebagai RABB, penjaga, pemelihara, pendidik dan pengasuh, agar diselamatkanlah kiranya kita daripada segala bahaya yang mungkin ada saja di seluruh Alam Yang Tuhan Ciptakan. “Dan dari kejahatan malam apabila dia telah kelam.” (ayat 3). Apabila matahari telah terbenam dan malam telah datang menggantikan siang, bertambah lama bertambah tersuruklah matahari itu ke sebalik bumi dan bertambah kelamlah malam. Kelamnya malam merobah sama sekali suasana. Di rimba-rimba belukar yang lebat, di padang-padang dan gurun pasir timbullah kesepian dan keseraman mencekam. Maka dalam malam hari itu berbagai ragamlah bahaya dapat terjadi. Binatang-binatang berbisa seperti ular, kala dan lipan, keluarlah gentayangan di malam hari. Kita tidur dengan enak, siapa yang memelihara kita dari bahaya tengah kita tidur itu kalau bukan Tuhan.
Dan orang pemaling pun keluar dalam malam hari, sedang orang enak tidur. Kadang-kadang demikian enaknya tidur, sehingga segala barang-barang berharga yang ada dalam rumah diangkat dan diangkut pencuri kita samasekali tidak tahu. Setelah bangun pagi baru kita tercongong melihat barang-barang yang penting, milik-milik kita yang berharga telah licin tandas dibawa maling.
Dalam kehidupan modern dalam kota yang besar-besar lebih dahsyat lagi bahaya malam. Orang yang tenggelam dalam lautan hawa nafsu, yang tidak lagi menuntut kesucian hidup, pada malam hari itulah dia keluar dari rumah ke tempat-tempat maksiat. Di malam harilah harta-benda dimusnahkan di meja judi atau dalam pelukan perempuan jahat. Di malam hari suami mengkhianati isterinya. Di malam harilah gadis-gadis remaja yang hidup bebas dirusakkan perawannya, dihancurkan hari depannya oleh manusia-manusia yang tidak pula mengingat lagi hari depannya sendiri.
Sebab itu maka di segala zaman disuruhlah kita berlindung kepada Allah sebagai Rabb dari bahaya kejahatan malam apabila dia telah kelam.
“Dan dari kejahatan wanita-wanita peniup pada buhul-buhul.” (ayat 4). Yang dimaksud di sini ialah bahaya dan kejahatan mantra-mantra sang dukun. Segala macam mantra atau sihir yang digunakan untuk mencelakakan orang lain.
Ada satu perbuatan yang disebut TUJU! Dalam pemakaian kata secara umum, kata tuju berarti titik akhir yang dituju dalam perjalanan. Yang boleh dikatakan juga dalam bahasa Arab maqshud. Apa yang dituju, dengan apa yang dimaksud adalah sama artinya.
Tetapi di dalam Ilmu Sihir dan mantra dukun-dukun, TUJU itu mempunyai arti yang lain. Yaitu menujukan ingatan, fikiran dan segala kekuatan kepada orang tertentu, menujukan kekuatan batin terhadap orang itu, dengan maksud jahat kepadanya, sehingga walaupun berjarak yang jauh sekali, akan berbekas juga kepada diri orang itu.
Dengan adanya ayat ini nyatalah bahwa Al-Qur’an mengakui adanya hal-hal yang demikian. Jiwa manusia mempunyai kekuatan batin tersendiri di luar dari kekuatan jasmaninya. Kekuatan yang demikian bisa saja digunakan untuk maksud yang buruk. Di dalam bahasa Minangkabau kata-kata TUJU itu terdapat sebagai bahagian dari sihir. Ada TUJU gelang-gelang, yaitu dengan membulatkan ingatan jahat kepada orang yang dituju, orang itu dapat saja sakit perut. Gelang-gelang atau cacing yang dalam perut orang itu bisa membangkitkan penyakit yang membawa sengsara, bahkan membawa maut bagi yang dituju! Gelang-gelang Si Raya Besar, atau gelang-gelang si Ma-u-wek!
Selain dari itu ada Tuju yang bernama gayung, ada yang bernama tinggam, ada yang bernama gasing. Dalam bahasa Jawa begitu pula rupanya yang dimaksud dengan kata-kata “nuju wong”, yang arti harfiahnya menuju orang, maksudnya ialah menyihir orang.
Di dalam ayat 4 Surat Al-Falaq ini kita berlindung daripada kejahatan wanita-wanita peniup pada buhul-buhul. Karena di zaman dahulu tukang mantra yang memantrakan dan meniup-niupkan itu kebanyakan ialah perempuan! Di Eropa pun tukang-tukang sihir yang dibenci itu diperlambangkan dengan perempuan-perempuan tua yang telah ompong giginya dan mukanya seram menakutkan. Di hadapannya terjerang sebuah periuk yang selalu dihidupkan api di bawahnya dan isinya macam-macam ramuan.
Di antara ramuan itu ialah anak kecil hasil perzinaan yang baru lahir!
Maka dalam ayat ini disebutkan bahwa perempuan tukang sihir itu meniup atau menghembus-hembus barang ramuan yang dia bungkus, dan bungkusan itu mereka ikat dengan tali yang dibuhulkan.
Isinya ialah barang-barang yang kotor atau barang yang mengandung arti untuk TUJU tadi. Misalnya didapati di dalamnya jarum 7 buah, jarum itu guna menusuk-nusuk perasaan orang yang dituju, sehingga selalu merasa sakit. Ada juga cabikan kain kafan, atau tanah pada perkuburan yang paling baru. Ada juga batu nisan (mejan). Pendeknya barang-barang ganjil yang mengandung kepercayaan sihir (magis) dengan maksud menganiaya.
Memang, jiwa manusia ini bisa saja dibawa kepada perbuatan yang buruk. Maka kalau jiwa orang yang kena tuju itu lemah, tidak ada pegangan dan tidak ada perlindungkan sejati terhadap Allah, dia bisa saja tewas karena mantra dukun tukang tiup tersebut. Maka dalam ayat ini seorang yang telah kokoh kepercayaannya kepada Allah, merasa yakin bahwa tuju jahat tukang sihir atau dukun jahat itu tidak akan mempan terhadap dirinya.
Tuhan berfirman di dalam Al-Qur’an dengan tegas:
“Dan lemparkanlah apa yang dalam tanganmu itu, niscaya akan ditelannya apa-apa yang mereka bikin-bikin itu. Karena sesungguhnya apa yang mereka bikin itu hanyalah tipu daya tukang sihir. Dan tidaklah akan menang tukang sihir, biarpun dari mana mereka datang.”
Thaahaa : 69
Dan di dalam Surat Al-Baqarah (Surat 2 ayat 102). Diterangkan bahwa Harut dan Marut di negeri Babil mengajarkan sihir, terutama sihir cara bagaimana menimbulkan kebencian di antara dua orang suami isteri, sehingga berkelahi atau bercerai. Dalam ayat ini terbayang bahwa maksud sihir demikian bisa saja berhasil. Tetapi di tengah ayat itu tertulis:
“Dan ahli sihir itu sekali-kali tidaklah akan memberi mudharat, (sekali-kali tidaklah akan membahayakan) dengan sihirnya itu kepada seseorang pun kecuali dengan izin Allah.”
Oleh sebab itu maka dianjurkanlah kita di dalam ayat ini memperlindungkan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa yang menjadikan dan mentakdirkan segala sesuatu agar kita terpelihara daripada hembusan tukang sihir, laki-laki ataupun perempuan dengan buhul-buhul ramuan sihir itu. Sebab bila kita berlindung kepada Allah, tiada suatu pun alam ini, sebab dia perbuatan Allah, yang akan memberi bekas atas diri kita.
“Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia melakukan kedengkian.” (ayat 5).
Pada hakikatnya dengki itu adalah satu penyakit yang menimpa jiwa orang yang dengki itu. Dalam bahasa Baratnya dikatakan bahwa orang yang dengki itu adalah abnormal, atau kurang beres jiwanya. Sakit hatinya melihat nikmat yang dianugerahkan Allah kepada seseorang padahal dia sendiri tidaklah dirugikan oleh pemberian Allah itu.
Oleh karena dengki adalah semacam penyakit, atau kehilangan kewarasan fikiran, maka bisa saja si dengki itu bertindak yang tidak-tidak kepada orang yang didengkinya. Misalnya difitnahkannya. Dikatakannya mencuri padahal tidak mencuri. Dikatakannya memusuhi pemerintah, padahal tidak memusuhi pemerintah, sehingga lantaran pengaduannya orang yang didengkinya itu ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara, ditahan bertahun-tahun dengan tidak ada pemeriksaan sama sekali. Atau dituduhnya seorang perempuan baik-baik berkhianat kepada suaminya. Atau dibuatnya apa yang kita namai Surat Kaleng!
“Hasad atau dengki dosa kepada Allah yang mula dibuat di langit, dan dengki juga dosa yang mula-mula dibuat orang di bumi. Dosa di langit ialah dengki iblis kepada Adam. Dosa di bumi ialah dengki Qabil kepada Habil.”
Berkata Hakim (ahli hikmat): “Orang yang dengki memusuhi Allah pada lima perkara: (1) Bencinya kepada Allah mengapa memberikan nikmat kepada orang lain, (2) Sakit hatinya melihat pembahagian yang dibahagikan Tuhan, – “Seakan-akan dia berkata: “Mengapa dibagi begitu?” (3) Dia menantang Allah, karena Allah memberi kepada siapa yang Dia kehendaki, (4) Dia ingin sekali supaya nikmat yang telah diberikan Allah kepada seseorang, agar dicabut Tuhan kembali, (5) Dia bersekongkol dengan musuh Tuhan dan musuhnya sendiri, yaitu Iblis.”
Ahli hikmat yang lain menulis pula: “Tidak ada yang akan didapat oleh orang yang dengki itu di dalam suatu majlis selain dari sesal dan jengkel, dan tidak ada yang akan didapatnya dari Malaikat selain dari kutuk dan kebencian, dan tidak ada yang akan didapatinya di akhirat kelak selain dari dukacita dan terbakat, dan tidak ada yang akan didapatnya dari Allah selain dari dijauhkan dan dibenci.
BENARKAH NABI MUHAMMAD SAW PERNAH KENA SIHIR?
Menurut dari yang dinukil oleh Asy-Syihab dari kitab “At-Ta’wilat” karangan Abu Bakar Al-Asham dari hal peristiwa Nabi SAW kena sihir. Menurut beliau ini, Hadis berkenaan dengan Nabi SAW kena sihir itu adalahmatruk, artinya ialah Hadis yang mesti ditinggalkan dan tidak boleh dipakai. Karena kalau Hadis demikian diterima, berarti kita mengakui apa yang didakwakan oleh orang kafir, bahwa Nabi SAW telah (mempan) kena sihir. Padahal yang demikian itu sangat bertentangan dengan Nash yang ada dalam Al-Qur’an sendiri. Dengan tegas Tuhan berfirman:
“Allah memelihara engkau dari manusia.”
Al-Maidah : 67
“Dan tidaklah akan berjaya tukang sihir itu, bagaimanapun datangnya.”
Thaahaa : 69
Dan lagi kalau riwayat Hadis itu diterima, berarti kita menjatuhkan martabat nubuwwah. Dan lagi kalau Hadis itu dibenarkan, berarti bahwa sihir bisa saja membekas kepada Nabi-nabi dan orang-orang yang shalih, yang berarti mengakui demikian besar kekuasaan tukang-tukang sihir yang jahat itu sehingga dapat mengalahkan Nabi dan semuanya itu adalah tidak benar! Dan orang-orang kafir pun dapat saja merendahkan martabat Nabi-nabi dan orang-orang yang shalih itu dengan mencap “Mereka itu kena sihir.” Dan kalau benar-benar hal ini terjadi, niscaya benarlah dakwa orang-orang yang kafir, dan dengan demikian jelaslah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallama ada aibnya, dan ini adalah tidak mungkin.” – Sekian disalinkan dari At-Ta’wilat buah tangan Abu Bakar Al-Asham tersebut.
Hadis Nabi kena sihir ini termasuk dalam catatan Hadis Shahih yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, yang berasal dari Hadis Aisyah, bahwa beliau SAW pernah disihir oleh seorang Yahudi dari Bani Zuraiq, namanya Labid bin Al-A’sham. Dikatakan dalam Hadis itu bahwa Nabi merasa seakan-akan beliau berbuat sesuatu padahal tidaklah pernah diperbuatnya.
Demikianlah beliau rasakan beberapa lamanya. Sampai pada suatu waktu Nabi berkata kepada Aisyah: “Hai Aisyah! Aku diberi perasaan bahwa Allah memberi fatwa kepadaku pada perkara yang aku meminta fatwa pada-Nya, maka datanglah kepadaku dua malaikat, yang duduk ke sisi kepalaku dan yang seorang lagi di sisi kakiku. Lalu berkata yang duduk dekat kepalaku itu kepada yang duduk di ujung kakiku: ‘Orang ini diobatkan orang!’ (Disihir? Kawannya bertanya: ‘Siapa yang mengobatkannya? (menyihirnya?)’).
Yang di kepala menjawab: “Labid bin Al-A’sham.”
Kawannya bertanya: “Dengan apa?”
Yang di kepala menjawab: “Pada kudungan rambut dan patahan sisir dan penutup kepala laki-laki, dihimpit dengan batu dalam sumur Dzi Auran.” – Tersebut di Hadis itu bahwa Nabi pergi ke sumur itu membongkar ramuan yang dihimpit dengan batu itu dan bertemu.
Dalam riwayat dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW menyuruh Ali Bin Abu Thalib dan Zubair bin Awwam dan ‘Ammar bin Yasir memeriksa sumur itu dan mencari ramuan tersebut. Lalu ditimba air sumur itu dan diselami ke bawah sampai bertemu bungkusan ramuan tersebut yang dihimpit dengan batu. Yang bertemu di dalam kain kasah bungkusan itu ialah guntingan rambut Nabi SAW, patahan sisir beliau dan sebuah potongan kayu yang diikat dengan 11 buah ikatan dan di tiap ikatan itu ditusukkan jarum. Lalu diturunkan Allah kedua Surat ini, jumlah ayat keduanya, “Al-Falaq dan An-Nas” ialah 11 ayat pula. Tiap-tiap satu ayat dibaca, dicabut jarum dan dibuka buhulnya, dan tiap satu jarum dicabut dan satu buhul diungkai, terasa satu keringanan oleh Nabi SAW, sehingga sampai diuraikan buhul dan dicabut jarum yang 11 itu, dan terasa oleh Nabi SAW bahwa beliau sembuh sama sekali.
Lalu bertanyalah mereka kepada beliau: “Apakah orang jahat itu tidak patut dibunuh saja? Beliau menjawab: “Allah telah menyembuhkan daku, dan aku tidak suka berbuat jahat kepada orang.”
Dalam riwayat yang dibawakan oleh Al-Qusyairi pun tersebut bahwa seorang pemuda Yahudi bekerja sebagai khadam Nabi SAW. Pada suatu hari anak itu dibisiki oleh orang-orang Yahudi supaya mengambil rambut-rambut Nabi yang gugur ketika disisir bersama patahan sisir beliau, lalu diserahkannya kepada yang menyuruhnya itu. Maka mereka sihirlah beliau, dan yang mengepalai mensihir itu ialah Labid bin Al-A’sham. Lalu Al-Qusyairi menyalinkan lagi riwayat Ibnu Abbas tadi.
Supaya kita semuanya maklum, meskipun beberapa tafsir yang besar dan ternama menyalin berita ini dengan tidak menyatakan pendapat, sebagai Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Al-Khazin bagi Ibrahim Al-Baghdadi; malahan beliau ini mempertahankan kebenaran riwayat itu berdasar kepada shahih riwayatnya, Bukhari dan Muslim. Namun yang membantahnya ada juga. Di antaranya Ibnu Katsir.
Ibnu Katsir setelah menyalinkan riwayat ini seluruhnya, membuat penutup demikian bunyinya: “Demikianlah mereka meriwayatkan dengan tidak lengkap sanadnua, dan di dalamnya ada kata-kata yang gharib, dan pada setengahnya lagi ada kata-kata yang mengandung nakarah syadidah (sangat payah untuk diterima). Tetapi bagi setengahnya ada juga syawahid (kesaksian-kesaksian) dari segala yang telah tersebut itu.”
Almarhum orang tua saya dan guru saya yang tercinta, Hadratusy-Syaikh Dr. Abdulkarim Amrullah di dalam Tafsir beliau yang bernama “Al-Burhan” menguatkan riwayat ini juga. Artinya, bahwa beliau membenarakan Nabi SAW kena sihir. Dengan alasan Hadis ini adalah shahih, Bukhari dan Muslim merawikan. Dengan menulis begitu beliau membantah apa yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Abduh di dalam Tafsir Juzu’ ‘Ammanya. Karena Syaikh Muhammad Abduh menguatkan juga, sebagai yang tersebut di dalam kitab At-Ta’wilat, buah tangan Abu Bakar Al-Asham yang telah kita salinkan di atas tadi, bahwa tidaklah mungkin seorang Nabi atau Rasul, ataupun orang yang shalih dapat terkena oleh sihir, berdasar kepada firman Tuhan sendiri di atas tadi pun telah kita salinkan, (Al-Maidah ayat 67, dan Thaha ayat 69). Bahwa tidak mungkin sihir dapat mengena kepada seseorang kalau Allah tidak izinkan. Dan terhadap kepada Rasul-rasul dan Nabi-nabi sudah dipastikan oleh Tuhan bahwa sihir itu akan gagal, walau dengan cara bagaimana pun datangnya.
Maka Penafsir yang sezaman dengan kita ini yang menolak Hadis itu, walaupun shahih, Bukhari dan Muslim yang merawikan, ialah Syaikh Muhammad Abduh dalam Tafsir Juzu’ ‘Ammanya, Al-Qasimi dengan tafsir “Mahasinut-Ta’wil”nya yang terkenal, dan yang terakhir kita dapati ialah Sayid Quthub di dalam tafsirnya “Fi Zhilalil Qur’an” menegaskan bahwa Hadis ini adalah Hadis Al-Ahad, bukan mutawatir. Maka oleh karena jelas berlawan dengan ayat yang sharih dari Al-Qur’an tidak mengapa kalau kita tidak percaya bahwa Nabi Muhammad bisa terkena oleh sihir walaupun perawinya Bukhari dan Muslim. Beberapa Ulama yang besar-besar, di antara Imam Malik bin Anas sendiri banyak menyatakan pendirian yang tegas menolak suatu Hadis Al-Ahad kalau berlawanan dengan ayat yang sharih. Misalnya beliau tidak menerima Hadis bejana dijilat anjing mesti dibasuh 7 kali, satu kali di antaranya dengan tanah. Karena di dalam Al-Qur’an ada ayat yang terang jelas, bahwa binatang buruan yang digungung anjing dengan mulutnya, halal dimakan sesudah dibasuh seperti biasa dengan tidak perlu 7 kali, satunya dengan tanah.
Ulama yang banyak mencampurkan “Filsafat” dalam tafsirnya atau memandang segala soal dari segi Filsafat dan Ilmu Alam, yaitu Syaikh Thanthawi Jauhari menulis tentang Hadis Nabi kena sihir itu demikian: “Segolongan besar ahli menolak Hadis-hadis ini dan menetapkannya sebagai merendahkan martabat Nubuwwat. Dan sihir yang menyebabkan Nabi merasa seakan-akan dia berbuat sesuatu padahal dia bukan berbuat, adalah amat bertentangan dengan Kebenaran, dipandang dari dua sudut:
Pertama: Bagaimana Nabi SAW dapat kena sihir, ini adalah menimbulkan keraguan dalam syariat. Kedua: Sihir itu pada hakikatnya tidaklah ada.
Alasan ini ditolak oleh yang mempertahankan. Mereka berkata: “Sihir itu tidaklah ada hubungannya melainkan dengan hal-hal yang biasa terjadi saja. Dia hanyalah semacam penyakit. Sedang Nabi-nabi itu dalam beberapa hal sama saja dengan kita orang biasa ini, makan minum, tidur bangun, sakit dan senang. Kalau kita mengakui kemungkinannya tidur, mesti kita akui kemungkinan beliau yang lain. Dan yang terjadi pada Nabi kita ini hanyalah semacam penyakit yang boleh saja terjadi pada beliau sebagai manusia, dengan tidak ada pengaruhnya sama sekali kepada akal beliau dan wahyu yang beliau terima.
Dan kata orang itu pula: “Pengaruh jiwa dengan jalan mantra (hembus atau tuju) kadang-kadang ada juga, meskipun itu hanya sedikit sekali. Maka semua ayat-ayat dan Hadis-hadis ini dapatlah memberi dua kesan: (1) Jiwa bisa berpengaruh dengan jalan membawa mudharrat, dan jiwa pun bisa berpengaruh membawa yang baik. Maka si Labid bin Al-A’sham orang Yahudi itu telah menyihir Nabi dan membekaskan mudharrat. Namun dengan melindungkan diri kepada Allah dengan kedua Surat “Al-Falaq” dan “An-Nas”, mudharrat itu hilang dan beliau pun sembuh.” – Sekian Syaikh Thanthawi Jauhari.
Tetapi ada satu lagi yang perlu diingat! Kedua Surat ini tidak turun di Madinah, tetapi turun di Makkah, dan di Makkah belum ada perbenturan dengan Yahudi.
Sekarang mari kita lihat pula betapa pendapat Jarullah Az-Zamakhsyari di dalam tafsirnya “Al-Kasysyaf”. Tafsir beliau terkenal sebagai penyokong Aliran Mu’tazilah, sebagai Ar-Razi penyokong Mazhab Asy-Syafi’i. Penganut faham Mu’tazilah tidaklah begitu percaya terhadap pengaruh sihir, atau mantra atau tuju sebagai yang kita katakan di atas tadi.
Sebab itu maka seketika menafsirkan ayat 4: “Dan daripada kejahatan perempuan-perempuan yang meniup pada buhul-buhul,” beliau menafsirkan demikian:
“Perempuan-perempuan yang meniup, atau sekumpulan perempuan tukang sihir yang membuhulkan pada jahitan, lalu disemburnya dengan menghembus. Menyembur ialah menghembus sambil menyemburkan ludah. Semuanya itu sebenarnya tidaklah ada pengaruh dan bekasnya, kecuali kalau di situ ada semacam ramuan yang termakan yang memberi mudharrat, atau terminum atau tercium, atau yang kena sihir itu menghadapkan perhatian kepadanya dari berbagai wajah. Tetapi Allah Azza wa Jalla kadang-kadang berbuat juga suatu hal pada seseorang untuk menguji keteguhan hatinya, apakah dia orang yang belum mantap fahamnya atau orang awam yang masih bodoh. Maka orang-orang yang dungu dan yang berfikir tidak teratur mengatakan kesakitan yang ditimpakan Allah kepadanya adalah karena perbuatan orang! Adapun orang yang telah mendapat ketetapan pendirian karena teguh imannya tidaklah dapat dipengaruhi oleh itu. Kalau engkau bertanya kepadaku: “Kalau demikian apakah yang dimaksud dengan bunyi ayat melindungkan diri kepada Allah dari kejahatan perempuan yang meniup pada buhul-buhul itu?
Saya akan jawab dengan tiga macam keterangan:
Artinya ialah berlindung kepada Allah dari kejahatan mereka itu, yaitu membuat ramuan sihir, dan berlindung kepada Allah dari dosanya.
Berlindung kepada Allah daripada kepandaian wanita-wanita itu memfitnah manusia dengan sihirnya dan penipuannya dengan kebatilan.
Berlindung kepada Allah jangan sampai Allah menimpakan suatu musibah tersebab semburannya itu.” – Sekian kita salin.
Dan di dalam Tafsirnya “Al-Kasysyaf” itu tidak ada dia menyinggung-nyinggung Hadis-hadis yang mengatakan Nabi pernah kena sihir orang Yahudi itu. Karena menurut keterangan di atas, meskipun memang ada perempuan mengadakan mantra, menyembur, meniup, namun bekasnya tidak akan ada, kecuali kalau ada yang termakan, terminum, tercium atau tersentuh barang ramuan yang membahayakan. Artinya serupa juga dengan racun.
Maka menurut pendapatnya itu, sedangkan kepada manusia yang biasa tidak ada bekas hembus dan sembur itu, apatah lagi kepada Nabi SAW.
Pendapat yang dipilih oleh penafsir Abu Muslim lain lagi. Beliau menafsirkan ayat berlindung daripada kejahatan perempuan-perempuan yang meniup pada buhul-buhul itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan sihir. Menurut beliau buhul-buhul yang dimaksud di ujung ayat 4 ini ialah suatu maksud atau rencana yang telah disusun oleh seorang laki-laki. Perempuan meniup-niup itu menurut beliau ialah bujuk dan rayuan perempuan, yang dengan lemah-lembut, lenggang-lenggok gemalai terhadap laki-laki, merayu dan membujuk, sehingga maksud laki-laki yang tadinya telah bulat menjadi patah, sehingga rencananya berobah dan maksudnya bertukar. Berdasar kepada ayat 28 dari Surat 12, Surat Yusuf:
“Sesungguhnya tipudaya kalian sangatlah besarnya, hai perempuan.”
Berapa banyaknya benteng-benteng pertahanan laki-laki menjadi runtuh berantakan karena ditembak oleh peluru senyuman dan bujuk rayuan perempuan.
Maka dapatlah kita ambil kesimpulan bahwasanya masalah tentang Hadis yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim tentang Nabi SAW kena sihir oleh orang Yahudi itu, sampai sihir itu membekas kepada beliau, bukanlah baru zaman sekarang dibicarkan orang. Ibnu Qatibah telah memperbincangkannya di dalam “Ta’wil Mukhtalafil-Hadits”, dan Ar-Razi pun demikian pula. Keduanya sama-sama patut dipertimbangkan. Adapun pendapat Az-Zamakhsyari yang mengadakan sama sekali pengaruh sihir, dapatlah kita tinjau kembali setelah maju penyelidikan orang tentang kekuatan Roh (Jiwa) manusia, tentang pengaruh jiwa atas jiwa dari tempat yang jauh, sebagai telepatih dan sebagainya.
Dan kita cenderunglah kepada pendapat bahwasanya Jiwa seorang Rasul Allah tidaklah akan dapat dikenai oleh sihirnya seorang Yahudi. Jiwa manusia yang telah dipilih Allah (Musthafa) bukanlah sembarang jiwa yang dapat ditaklukkan sedemikian saja. Sebab itu maka pendapat Syaikh Thanthawi Jauhari yang menyamakan Roh Rasul dengan Roh manusia biasa, karena sama-sama makan, sama tidur, sama bangun dan sebagainya adalah satu pendapat yang meminta tinjauan lebih mendalam!